» » » JEJAK PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI

Proklamasi



Berbicara mengenai kemerdekaan bangsa Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus, pastinya tidak lepas dari proklamasi yang diproklamirkan oleh Presiden pertama RI, Ir. Soekarno dan wakilnya, Drs. Moh. Hatta.
Dan jika membahas mengenai proklamasi, ada satu tempat untuk mengenang proses pembuatan naskah tersebut yaitu Museum Perumusan Naskah Proklamasi yang terletak di Jalan Imam Bonjol No. 1 Jakarta, karena di tempat inilah naskah tersebut 'dilahirkan'.
Didirikan pertama kali pada 1920 dengan aritektur Eropa (Art Deco) di tanah seluas 3.914m2 dengan luas bangunan 1.138,10m2. Awalnya museum ini milik PT. Asuransi Jiwaraya, tapi ketika Perang Pasifik hingga Jepang menduduki Indonesia, bangunan ini ditempati oleh British Consul General.
Museum ini terdiri dari dua lantai dan dibagi menjadi beberapa ruang. Sebelah kanan pintu masuk terdapat ruang pengesahan dimana di ruang ini terdapat meja panjang yang berisi beberapa kursi, tempat Presiden Soekarno membacakan naskah proklamasi berulang-ulang dan perlahan di depan tamu yang hadir untuk minta persetujuan.
Sedangkan di depan pintu masuk, bisa ditemukan ruang kecil yang berisi dua patung orang, yang salah satunya adalah Sayuti Melik yang sedang mengetik naskah proklamasi. Di sebelah kiri museum satu set kursi ruang tamu hadir disana, dan di ruang tersebut merupakan tempat pertama kali persiapan perumusan proklamasi setelah Ir Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Ahmad Soebarjo kembali dari Rengasdengklok dan diterima oleh Maeda.
Ruang terakhir adalah meja bundar yang berisi 3 patung yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Ahmad Soebarjo yang sedang merumuskan naskah di secarik kertas yang nantinya akan dibawa ke meja pengesahan untuk disahkan oleh tamu yang hadir.
Dikertas tersebut terdapat beberapa coretan yang bisa disimpulkan, Drs. Moh. Hatta dan Ahmad Soebarjo juga menyumbang pemikiran secara lisan untuk naskah proklamasi tersebut.
Sejak dibangun pertama kali hingga sekarang gedung ini tidak mengalami perubahan, karena hal tersebut dilarang oleh pemerintah mengingat nilai sejarah yang dimiliki bangunan tersebut. Tapi untuk fungsi ada beberapa ruangan masih bisa difungsikan untuk kegiatan lain, seperti untuk menyelenggarakan seminar, lomba atau talk show yang berhubungan dengan proklamasi.
Untuk itu, selain bisa menyaksikan sejarah terbentuknya naskah proklamasi, di museum ini juga padat akan kegiatan, karena setiap tahunnya agenda acara sudah dipersiapkan.
Momen Proklamasi Kemerdekaan 66 tahun silam tidak hanya meninggalkan bangunan bersejarah namun juga karya foto yang cukup 'menggetarkan' rakyat Indonesia.
Peristiwa tersebut diabadikan dalam karya foto hasil jepretan Alex Manurung dan Frans Kendur.
Nama Alex Impurung Mendur (1907-1984) beserta saudara kandungnya Frans Mendur, mungkin tidak banyak dikenal generasi muda Indonesia saat ini. Padahal kedua bersaudara tersebut, di samping pelaku sejarah, meski bukan pejuang, mereka merupakan fotografer yang hadir dan mengabadikan detik-detik proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Mereka berdua pula yang mendirikan IPPHOS (Indonesia Press Photo Service) pada 2 Oktober 1946 di Jakarta. Karya fenomenal mereka adalah foto pidato Bung Tomo yang dipublikasikan pertama kali di majalah dwi bahasa Mandarin-Indonesia bernama Nanjang Post edisi Februari 1947.
“Buku pelajaran sejarah di jaman kita remaja mengajarkan bahwa foto tersebut diambil ketika Bung Tomo sedang berorasi untuk membakar semangat perlawanan para pejuang dalam perang 10 November 1945 di Surabaya. Padahal foto tersebut di crop oleh mereka, aslinya biasa saja dan lebih penting lagi, lokasi pengambilan foto bukan di Surabaya melainkan di lapangan Mojokerto dalam rangka mengumpulkan pakaian untuk korban perang Surabaya yang jatuh miskin bertahan di pengungsian di Mojokerto, waktu itu, kota Surabaya masih diduduki Belanda,” ujar Oscar Motuloh, pewarta sekaligus kurator foto dalam sebuah kesempatan di Surabaya silam.
Di sela-sela deru tembakan, pekik teriakan kemerdekaan serta lumuran darah pejuang republik waktu, fakta di atas bisa jadi bukti, pewarta foto punya peran penting dalam alur sejarah kemerdekaan RI.
“Hanya beda angle (sudut pandang), foto Bung Tomo yang semula biasa ketika diambil dari depan, mampu menjadi alat penyebar semangat pejuang waktu itu. Ini artinya, pewarta juga punya peran penting dalam sejarah. Mereka berjuang bukan dengan senjata namun lewat gambar yang dihasilkan dari sebuah foto,” imbuh Oscar.
Selanjutnya, ia berpesan pada pewarta (wartawan) foto saat ini, untuk terus berkarya dan menangkap momen yang bisa membuat sejarah di masa mendatang. “Ya usahakan terus jepret dan ambil momen yang sekiranya bagus, itu saja,” pungkasnya.



Oleh: Ismail Anwar/Jatmiko - Editor: Masruroh

About Wee ElLen

Hi there! I am Hung Duy and I am a true enthusiast in the areas of SEO and web design. In my personal life I spend time on photography, mountain climbing, snorkeling and dirt bike riding.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply